Lahir | Tengkoe Amir 28 Februari 1911 Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda |
---|---|
Meninggal | 20 Maret 1946 (umur 35) Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia |
Makam | Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Indonesia |
Pekerjaan | Sastrawan, Penyair, Pejabat Pemerintahan Daerah |
Bahasa | Indonesia Melayu |
Kewarganegaraan | Indonesia |
Suku bangsa | Melayu |
Aliran sastra | Simbolisme |
Tema | Cinta, Agama |
Karya terkenal | Boeah Rindoe (1937) Njanji Soenji (1941) |
Pasangan | Tengkoe Poeteri Kamiliah |
Anak | Tengkoe Tahoera |
Amir
Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari
1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai.
Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang
kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah
diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.
Ayahanda
Tengku Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk
Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil
Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda
Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud,
penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941.
Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir
Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan
tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu
kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.
Amir
Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman
sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu
atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah
di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki
yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat,
lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir
Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua
orang.
Amir
Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah
di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan
oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906.
Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah orang Belanda, hanya
ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini hanya berupa
Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah menjadi
Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi
Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.
Setelah
tamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di
MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke
Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO
Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah
kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School),
sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil
disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah
tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT
Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo
Hadinegoro di Nggabelen.
Amir
Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak
kesan Achdiat K Mihardja tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan
ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres,
buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di
mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut.
Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama
mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada
sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir
Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum
dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Pada
waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan
Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam
pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di
kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah
kesusastraan di Indonesia.
Proses
kepenulisan Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang
menentukan posisi kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan
pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses
Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian berlanjut ketika ia
meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini merupakan masa
proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir Hamzah.
Intensitas
pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke
dalam sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah
indentik dengan jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat
dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung
mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan, perenungan,
serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.
Setelah
studinya di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk
melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa
di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan
berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah
memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir
Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan
tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan
yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan
Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas
penerbitan majalah Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan
Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga
menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah
cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan
lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya
dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa
sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi
Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE.
Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin
pencapaian karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu
kelompok yang mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan
semacam puitika yang lain sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun
begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam ikatan maupun komitmen
para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan
hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga
menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para
peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa
puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa
Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika
memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau
Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca
akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu,
misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi
sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir
Hamzah. Ia adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi
sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh
feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah yang ditangkap pada 7
Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret 1946, orang-orang
yang ditangkap itu dihukum mati.
(Mujibur Rohman/TAH/Bio/01/05-2011)
Referensi:
Abrar Yusra, 1996. “Amir Hamzah, Biografi Seorang Penyair”, dalam Abrar Yusra [ed.], 1996. Amir Hamzah 1911-1946 Sebagai Manusia dan Sebagai Penyair. Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar